Aku dan Albert sudah tinggal bersama sejak kecil. Itu tentu saja, karena kami adalah sepasang saudara. Kakakku, wajahnya tampan, tubuhnya ideal, senyumnya mengoda. Bicara soal sifat, ia sangat sabar atau lebih tepatnya adalah ‘lemah’.
Tentang orangtuaku, ibu meninggal ketika melahirkanku. Sedangkan ayahku, dia pengusaha yang sangat mapan, ketampanannya juga tak jauh beda dari Albert. Dan yang tak kalah penting, ayah lebih menyayangi Albert dari padaku.
Tanpa pengawasan dari seorang ibu di rumah, dengan uang yang berlimpah dari seorang ayah dan kakakku yang lemah, seharusnya aku menjadi wanita yang sempurna. Sempurna untuk melakukan apapun, sebebas-bebasnya. Namun sialnya, kakakku adalah seorang pengganggu. Ia selalu saja berhasil mengusik kehidupanku.
“Kesya…” panggil Albert, kakakku. Aku berjalan gontai menghampirinya. Kupandangi wajahnya yang semakin pucat itu, ku lontarkan senyuman sinis tanda bahwa aku tak menyukai keberadaannya.
“ada apa?” tanyaku acuh lalu membuang muka
“Tolong…”
“Tolong apa?!” Teriakku memutuskan kalimatnya. “bolehkah aku bertanya kakak?” tanyaku dengan tatapan jijik.
“kau anggap aku adik atau seorang babu?” tanyaku kasar
“kenapa kau seperti itu” ucapnya melemah
“ada sesuatu yang mengganjal dalam pikiranku, setiap malam aku selalu memikirkannya, aku terusik dalam otakku sendiri. Apa kau mau membantuku untuk memecahkannya? Apa kau mau menjawab pertanyaanku? Kakak… kenapa aku harus terlahir?”
Albert memandangiku, matanya berbinar seakan ingin meleleh. Ia menghela nafas panjang. “Kesya…” panggilnya lembut.
“cukup! Ternyata adikmu ini sudah tau apa jawabnya. Cukup! Jangan kau jawab! Aku akan memberitaunya.” aku berdeham beberapa kali “Aku terlahir karena kau kakak! Itu semua untuk memenuhi kebutuhanmu! Masih ingat saat kau kecelakaan dan membutuhkan darah? lalu siapa yang mendonorkanmu? Masih ingatkah ketika tubuhmu yang penyakitan itu membutuhkan sebuah ginjal? Taukah kau siapa yang mendonorkannya? Dan masih ingatkah engkau…” aku menghentikan kalimatku, kupandangi raut wajahnya semakin pucat, keringatnya mulai mengucur membasahi keningnya. Ia menggunakan kedua tangannya untuk menutupi telinganya.
Aku melototinya “Akulah yang mendonorkan semuanya!!! Kau tau dan pura-pura tidak tau! Pantaskah kau kuanggap sebagai kakak?”
“Cukup Kesya…!!!” ia berteriak.
“Aku tak ikhlas! Seandainya saja ayah tak menyeretku, seandainya saja ayah tak memaksaku untuk mendonorkan semuanya… aku pasti masih utuh!”
Tiba-tiba dari arah belakang, ayah menarik tanganku dengan kencang. Sorot matanya tajam, alisnya mengerut dan ‘PLAK…’ ayah menamparku.
Seketika saja, tanpa kupinta, tanpa bisa ku tahan. Air mataku mengalir membasahi pipi yang memerah. Aku menatap ayahku, mungkin aku sudah membunuhnya bila saja Albert tak berada disini.
“semua karena aku yang menyebabkan ibu meninggal atau karena Albert adalah seorang lelaki yang akan menerima semua warisan dari ayah dan menjalankan perusahaan ayah? Tanpa kau pinta, aku akan pergi ayah. Mulai sekarang, kau harus mencari seseorang yang bersedia memberikan tubuhnya untuk anak lelaki kesayanganmu itu” aku menatap mereka satu persatu dan berlalu dari hadapan mereka.
“ada apa?” tanyaku acuh lalu membuang muka
“Tolong…”
“Tolong apa?!” Teriakku memutuskan kalimatnya. “bolehkah aku bertanya kakak?” tanyaku dengan tatapan jijik.
“kau anggap aku adik atau seorang babu?” tanyaku kasar
“kenapa kau seperti itu” ucapnya melemah
“ada sesuatu yang mengganjal dalam pikiranku, setiap malam aku selalu memikirkannya, aku terusik dalam otakku sendiri. Apa kau mau membantuku untuk memecahkannya? Apa kau mau menjawab pertanyaanku? Kakak… kenapa aku harus terlahir?”
Albert memandangiku, matanya berbinar seakan ingin meleleh. Ia menghela nafas panjang. “Kesya…” panggilnya lembut.
“cukup! Ternyata adikmu ini sudah tau apa jawabnya. Cukup! Jangan kau jawab! Aku akan memberitaunya.” aku berdeham beberapa kali “Aku terlahir karena kau kakak! Itu semua untuk memenuhi kebutuhanmu! Masih ingat saat kau kecelakaan dan membutuhkan darah? lalu siapa yang mendonorkanmu? Masih ingatkah ketika tubuhmu yang penyakitan itu membutuhkan sebuah ginjal? Taukah kau siapa yang mendonorkannya? Dan masih ingatkah engkau…” aku menghentikan kalimatku, kupandangi raut wajahnya semakin pucat, keringatnya mulai mengucur membasahi keningnya. Ia menggunakan kedua tangannya untuk menutupi telinganya.
Aku melototinya “Akulah yang mendonorkan semuanya!!! Kau tau dan pura-pura tidak tau! Pantaskah kau kuanggap sebagai kakak?”
“Cukup Kesya…!!!” ia berteriak.
“Aku tak ikhlas! Seandainya saja ayah tak menyeretku, seandainya saja ayah tak memaksaku untuk mendonorkan semuanya… aku pasti masih utuh!”
Tiba-tiba dari arah belakang, ayah menarik tanganku dengan kencang. Sorot matanya tajam, alisnya mengerut dan ‘PLAK…’ ayah menamparku.
Seketika saja, tanpa kupinta, tanpa bisa ku tahan. Air mataku mengalir membasahi pipi yang memerah. Aku menatap ayahku, mungkin aku sudah membunuhnya bila saja Albert tak berada disini.
“semua karena aku yang menyebabkan ibu meninggal atau karena Albert adalah seorang lelaki yang akan menerima semua warisan dari ayah dan menjalankan perusahaan ayah? Tanpa kau pinta, aku akan pergi ayah. Mulai sekarang, kau harus mencari seseorang yang bersedia memberikan tubuhnya untuk anak lelaki kesayanganmu itu” aku menatap mereka satu persatu dan berlalu dari hadapan mereka.
Aku meninggalkan semuanya, kuakhiri kehidupan kelam ku ini. Kini aku harus menerima kenyataan, bahwa aku bukanlah lagi anak dari keluarga Hardinata. Aku hanya berharap jika Tuhan mau berbelas kasih untuk memberiku sebuah kebahagiaan.
Kurogoh saku ku, hanya uang 250 ribu yang kupunya. Di kota Jakarta yang pahit ini, mana mungkin aku dapat tinggal dengan uang segini? Kini aku melarat, sungguh nelangsa rasanya.
Seharusnya, aku membawa Ipad, Iphone, dan Mobil sewaktu aku kabur tadi. Tapi bukankah itu artinya perampokan?
Tak ada lagi yang kumiliki, Tuhan pun aku tak punya. Benarkah Tuhan itu ada? Bukankah Tuhan hanyalah teori yang sering diajarkan ketika aku sekolah minggu? Ya… Tuhan hanyalah milik mereka yang menerima kebahagiaan.
Kini, yang kumiliki hanyalah uang yang menipis, pakaian yang menempel di tubuhku dan kalung peninggalan ibu, aku tak mungkin menjualnya.
Tak ada lagi yang kumiliki, Tuhan pun aku tak punya. Benarkah Tuhan itu ada? Bukankah Tuhan hanyalah teori yang sering diajarkan ketika aku sekolah minggu? Ya… Tuhan hanyalah milik mereka yang menerima kebahagiaan.
Kini, yang kumiliki hanyalah uang yang menipis, pakaian yang menempel di tubuhku dan kalung peninggalan ibu, aku tak mungkin menjualnya.
Kupandangi langit yang membiru, awan-awan bertaburan dimana-mana, burung-burung terbang bebas menuju sarangnya. Tiba-tiba ide cemerlang terselip di otakku.
Ada satu hal yang kumiliki dan sangat berarti. Satu-satunya aset terpenting adalah ‘Tubuhku’. Aku akan menjualnya, aku sudah tak membutuhkannya. Jiwaku telah pergi sesaat aku terlahir, tanpa tubuh pun tak berarti apa-apa bagiku.
Ada satu hal yang kumiliki dan sangat berarti. Satu-satunya aset terpenting adalah ‘Tubuhku’. Aku akan menjualnya, aku sudah tak membutuhkannya. Jiwaku telah pergi sesaat aku terlahir, tanpa tubuh pun tak berarti apa-apa bagiku.
Tak ada lagi Kesya putri Hardinata. Kini jalur hidup sudah berubah, mereka memanggilku ‘Pengoda bibir merah’. Semuanya memang berubah, aku tak perlu mengemis uang pada seorang yang dulu pernah ku panggil ayah. Aku tak perlu membiarkan dokter mencangkok organ dalam tubuhku. Dan aku tak perlu hidup dalam bayang-bayang Albert.
Kini uang mengucur deras dalam kehidupanku. Aku tak perlu bersusah payah, mereka akan memberikannya sendiri padaku. Mana mungkin mereka menolak tubuhku yang mulus ini.
Kebahagiaan yang lain mulai tercipta lagi saat seorang yang ku panggil “Om Hendra” memberiku sebuah obat-obatan ekst*si.
Aku terbuai, melayang bebas seperti elang. Seperti ini kah kebahagiaan? Tak ada beban, tak ada yang dapat membuatku menderita. Kenapa tak dari dulu saja aku melakukannya?
Kebahagiaan yang lain mulai tercipta lagi saat seorang yang ku panggil “Om Hendra” memberiku sebuah obat-obatan ekst*si.
Aku terbuai, melayang bebas seperti elang. Seperti ini kah kebahagiaan? Tak ada beban, tak ada yang dapat membuatku menderita. Kenapa tak dari dulu saja aku melakukannya?
Dosa… aku meluluh dosa, bukannya aku tak takut pada neraka. Tapi aku tak percaya bahwa neraka itu ada. Tuhan saja tak aku anggap, apalagi neraka.
Namun seiring berjalannya waktu, terbit dan terbenamnya matahari. Aku mulai menyadari tubuhku mengurus, tulangku nampak seperti orang-orang Afrika yang kekurangan gizi. Inikah efek dari obat pencipta kebahagiaan itu?
Setiap hari dosis yang kugunakan selalu bertambah saja, aku menyukainya ketika aku mendapati tubuhku terkulai tak berdaya.
Setiap hari dosis yang kugunakan selalu bertambah saja, aku menyukainya ketika aku mendapati tubuhku terkulai tak berdaya.
Aku saka*, menggelepar dan mengeliat. Hanya ada Om Hendra yang berada di sampingku. Aku mencengkeram tangannya erat-erat.
“Oh… Tuhan… kok jadi begini? jangan salahkan mereka yang membuatku menjadi seperti ini” Teriakku sekeras yang aku bisa.
“Om… mintakan maaf pada ayah dan kakakku. Mungkin sebentar lagi aku akan berangkat”
“Oh… Tuhan… kok jadi begini? jangan salahkan mereka yang membuatku menjadi seperti ini” Teriakku sekeras yang aku bisa.
“Om… mintakan maaf pada ayah dan kakakku. Mungkin sebentar lagi aku akan berangkat”
sumber : www.ciie-dunia.blogspot.com
{ 0 comments... read them below or add one }
Post a Comment